Friday 13 November 2015

Tentang DHD-ku

Kejadiannya... mmm... sekitar 15 tahun lalu. Waktu itu aku kelas 2 SMP. Aku ingat sekali waktu itu adalah bulan Ramadhan, dan sedang libur. Kayanya itu pas Ramadhan diliburkan sebulan full deh.

Aku ga terlalu ingat persis awal mulanya bagaimana. Yang kuingat suatu sore Ibundo pulang kantor membawa beberapa potong pakaian. Biasa lah, euforia baju baru untuk lebaran, kan waktu itu aku masih kecil. Hehehe

Di antara baju-baju tersebut adalah sebuah celana jeans. Ibu suruh aku mencobanya. Aku malas-malasan karena memang posisinya lagi tidur, dan badanku lemas. Ibu ngomel. Katanya aku gak menghargai ibu yang sudah capek-capek membelikan itu. Akhirnya aku bangun dan mencoba si celana. Tapi ketika mau ngancingin celananya, aku gak bisa. Telapak tanganku sakit. Lagi-lagi ibu ngomel: "kayak gitu aja gak bisa!" lalu kutunjukkan telapak tanganku yang memerah. Ibu kaget. Dirabanya keningku. Panas. Segera ibu beristighfar dan minta maaf tadi sudah ngomel-ngomel.

Entah pada hari yang sama, atau keesokan harinya, yang kuingat aku kemudian di bawa ke klinik dokter umum di dekat rumah. Yang merah dan terasa sakit sebenarnya tidak hanya telapak tangan saja, tapi telapak kaki juga. Sepanjang jalan menuju praktek dokternya aku menangis, "kakiku sakit buat jalan..." Tapi aku harus tetap jalan. Walaupun belum segemuk sekarang, tapi aku sudah terlalu besar untuk digentdong ibuku. Dan saat itu kami belum punya motor, apalagi mobil.

Oleh dokter tersebut, aku didiagnosa Herpes. Aku yang masih bau kencur saat itu boro-boro ngerti apa itu herpes. Dan kami semua ya terima aja diagnosa tsb, walaupun aku ingat ibu pernah bilang "kalo herpes bukannya bintil-bintilnya hanya di satu area tertentu aja? lah ini seluruh tubuh kok.."

Iya saat itu selain telapak tangan dan kaki yang memerah, panas, dan sakit, kulitku mulai menunjukkan bintil-bintil berair. Semakin hari jumlahnya semakin banyak dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rasanya gatal. Oh ya, pada hari ke sekian, aku sudah tidak mampu mengepalkan telapak tanganku saking sakitnya. Memegang sendok pun hanya di jepit antara ibu jari dan telunjuk saja. Nafsu makanku saat itu baik-baik saja.

Perubahan ekstrim terjadi di tubuhku. Aku merasa seperti monster. Aku bahkan gak berani bercermin. Kerjaku setiap hari hanya tiduran di kasur, gak mau keluar rumah. Malu.

Kalo gak salah ingat, 3x sudah aku dibawa berobat ke dokter umum tadi. Tidak ada perubahan sedikitpun, tapi dokternya tetap memberikan resep yang sama. Akhirnya dengan nada yang agak keras, ibu meminta dibuatkan surat rujukan. Aku dirujuk ke RSUD Bekasi.

Di RSUD Bekasi, aku berjodoh dengan dokter kulit senior. Aku lupa namanya. Orangnya sudah berumur, dan rambutnya sudah banyak yang putih. Saat Pak dokter membaca surat rujukan dari koleganya sambil memperhatikan keadaanku, terutama kulitku, beliau berkata "ini sih bukan herpes..". Dugaan beliau saat itu ada 2: DHD atau apa lah, aku lupa. Dokter tersebut kemudian merujuk aku ke RSCM, terkait fasilitas lab yang belum memadai di RSUD.

Maka aku dibawa ke RSCM. Di sana aku dibawa ke Spesialis Kulit Anak. Aku ingat ruangannya full colors. Banyak gambar-gambar lucunya. Jadi selama tubuhku diamati oleh para dokter spesialis kulit dan dokter-dokter muda lainnya, aku asik melihat gambar-gambar lucu tersebut. Aku ingat mereka saling berdiskusi dan membawa buku yang sangat tebal untuk mencocokkan bintil berair di kulitku dnegan yang ada di buku. Dengan otakku yang masih SMP, aku bisa menyimpulkan bahwa penyakitku langka. Dengan sadar pula aku biarkan tubuhku diperiksa oleh para dokter tesebut, membiarkan diriku menjadi bahan studi kasus mereka.

Aku diminta melakukan biopsi di lab patoanatomi. Saat dibiopsi, sekitar 1cm kulitku diangkat. Itu adalah pertama kalinya aku dijahit. Aku ingat rasanya memang tidak sakit karena bius lokal yang diberikan, namun aku bisa merasakan benang jahit berjalan menembus kulitku.

Beberapa hari setelah itu, aku dan bapak diberi tahu bahwa hasil biopsi lab menunjukkan bahwa aku DHD. Apa pula DHD itu? batinku. Dokternya kemudian menjelaskan bahwa DHD, atau Dermatitis Herpetiformis Duhring, adalah suatu penyakit autoimun. Artinya sistem imunku bertindak reaktif terhadap zat yang seharusnya dianggap kawan. Dokter bilang bahwa aku harus menghindari makanan yang mengandung gluten, seperti gandum dan ketan. Nasi pun diminta untuk mengurangi.

Pulang dari RS, aku tidak ditemani bapak karena beliau ada perlu di sekolahnya. Aku nebeng mobil Om Heri, Tetanggaku yang juga dosen di FK UI. Rumah kami hanya berjarak 3 rumah. Aku ingat ketika mobil Om Heri parkir di halaman rumahnya, ibuku menunggu di depan rumah kami. Tapi ketika aku berjalan ke arahnya, dia malah bertanya pada Om Heri, "Loh, Isna-nya mana?". Duh, padahal aku di jarak yang lebih dekat dibanding Om Heri. Ada sedikit perasaan sedih, mungkin aku sudah terlalu banyak berubah wujud, sampai ibuku sendiri tidak mengenaliku :'(

Memang sudah parah sih kondisiku. Bintil berair itu ada di tangan, kaki, punggung, paha, dada, perut, leher, bahkan wajahku. Aku benar-benar merasa sudah bertransformasi menjadi monster, seperti di beberapa cerita Ghoosebumps. Bentuk bintil berairnya seperti luka bakar. Bintilnya irregular dan ukurannya beragam. Yang di pipi kanan dan kiri ada yang memanjang sekitar 3cm. Bekasnya masih ada hingga sekarang.

Oleh dokter tadi, aku diberi resep berupa bedak salisil dengan mentol 1% dan DDS. Bedaknya mudah diperoleh, tapi DDSnya.. Bapak sampe mendatangi apotek demi apotek untuk mendapatkan obat tersebut. Nihil. Sedih kalo ingat. Itu bulan puasa, siang hari, naik bus, panas... Setelah mencari tapi tidak kunjung mendapatkan obat tersebut, bapak kembali menemui dokter RSCM tadi. Dokter itu kemudian berkata, "Coba bapak menemui Bapak X (aku lupa) di gudang obat". Dan alhamdulillah obatnya ada.

Dilarangnya aku memakan gandum berarti aku gak boleh makan mie, donat, roti, dan lain sebagainya. Aku stres. Sedih lihat orang makan donat hanya bisa melihat saja. Akhirnya Ibu berimprovisasi, dibuatnya kue-kue dengan bahan tepung beras. Bahkan bolu kukus pun dari tepung beras. Tapi tetap, aku ga boleh makan banyak-banyak.

Pengobatan pun berjalan. Diiringi dengan dengan diet yang tadi aku ceritakan tadi. Lucunya setelah "Badai DHD" ini beralu, aku tambah gemuk. Hehehe

Aturan dosis pengobatannya adalah sekian kali perhari (aku -lagi-lagi- lupa). Dosis dikurangi setelah mmm... kalo ga salah dua minggu. Terus dikurangi secara bertahap sampai nol.

Hingga bertahun-tahun setelah itu, si DHD bandel itu alhamdulillah tidak pernah kembali menyapa. Pernah, kalo gak salah, 2x aku merasa telapak tangan panas dan memerah. Tapi sudah sampai di situ saja. Alhamdulillah. Hehe

Oh ya, Alhamdulillah lho berkat si DHD aku pake jilbab ^^
Ceritanya itu bekas bintil tambah gelap kalo kena matahari (kata dokternya). Jadi ya sekalian saja lah kita tutup dengan jilbab. Memang sudah ada keinginannya sejak sebelumnya sih, cuma jadi semacam gong aja utk memulainya. Alhamdulillah masih istiqomah hingga hari ini.

No comments:

Post a Comment

Thank you for reading! I welcome for any comment, but please be good to me: use nettiquete.